
![]() |
Irwan Zakaria |
Penulis : Irwan Sakaria
Setiap Hari Kebangkitan Nasional tiba, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih dalam dari sekadar perayaan. Kebangkitan seperti apa yang benar-benar kita butuhkan? Apakah demokrasi yang kita jalani telah membawa kesejahteraan yang adil bagi semua, atau hanya berhenti pada kontestasi politik tanpa dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari?
Di Wajo, demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin setiap lima tahun. Demokrasi harus tumbuh di sawah-ladang petani, di meja usaha kecil, di peluang ekonomi yang bisa diraih oleh setiap warga. Demokrasi ekonomi bukan sekadar konsep yang idealistis—ia adalah tuntutan bagi kehidupan yang lebih berkeadilan.
Kebangkitan sejati adalah kebangkitan ekonomi, di mana setiap orang memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, peluang, dan kesejahteraan. Tanpa demokrasi ekonomi, demokrasi politik hanya akan menjadi ritual kosong yang tidak berdampak pada keseharian rakyat.
Transformasi demokrasi ekonomi adalah kerja panjang yang membutuhkan keberanian untuk keluar dari kebiasaan lama. Ia tidak bisa tercipta hanya dengan wacana, tetapi harus diwujudkan melalui kebijakan dan aksi nyata.
Saatnya kita memastikan bahwa demokrasi yang kita perjuangkan bukan sekadar suara yang tercatat, tetapi kesejahteraan yang terasa. Wajo harus menjadi contoh bagaimana demokrasi dapat berakar dalam keseharian masyarakat.
*Menanam Demokrasi di Tanah Ekonomi*
Pertumbuhan ekonomi Wajo menunjukkan angka yang menjanjikan: *4,06%* pada tahun 2025. Tapi angka ini hanyalah permukaan. Sebab di balik pertumbuhan, ketimpangan masih mengintai. *Indeks Gini* yang mengukur kesenjangan pendapatan masih menunjukkan jarak yang lebar antara mereka yang memiliki akses luas dan yang terus berjuang di pinggir ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan bukanlah kemajuan. Kita harus bertanya: bagaimana angka ini diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata? Apakah petani, pedagang kecil, dan buruh merasakan manfaat dari pembangunan, ataukah hanya segelintir yang menikmatinya?
Demokrasi ekonomi mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan soal statistik, tapi tentang apakah setiap warga memiliki akses yang sama terhadap peluang. Saat ada segmen masyarakat yang tertinggal, maka demokrasi belum bekerja sebagaimana mestinya.
Studi dari *Asian Development Bank (2024)* menunjukkan bahwa daerah yang memiliki kebijakan ekonomi inklusif akan mengalami pertumbuhan yang lebih stabil dibanding daerah dengan kebijakan eksklusif. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi ekonomi bukan hanya tentang pemerataan, tetapi juga ketahanan ekonomi.
Di Wajo, demokrasi harus hidup di pasar-pasar, di kebun, dan di industri kreatif lokal. Tanah ekonomi harus menjadi tanah demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak untuk berkembang dan bertumbuh.
*UMKM: Akar yang Menguatkan Perekonomian Wajo*
Di Wajo, geliat UMKM menjadi bukti bahwa rakyat ingin berdaulat secara ekonomi. *40.225 unit usaha kecil* telah tumbuh dalam lima tahun terakhir, menunjukkan semangat berwirausaha yang mengakar. Namun, tantangannya masih besar: digitalisasi yang belum merata, akses modal yang sulit, dan pasar yang belum sepenuhnya terbuka.
Industri sutera Wajo adalah salah satu contoh keberhasilan ekonomi berbasis lokal. Dengan dukungan *2,5 juta bibit pohon murbei*, pemerintah mendorong produksi sutera yang berdaya guna bagi banyak keluarga petani dan pengrajin. Tapi apakah itu cukup? Tidak. Sebab tantangan lainnya adalah menghubungkan para pengrajin dengan pasar yang lebih luas, memastikan bahwa kekayaan budaya juga bisa menjadi kekuatan ekonomi yang berdaya.
Studi dari *McKinsey & Company (2023)* menunjukkan bahwa digitalisasi UMKM meningkatkan pendapatan bisnis hingga *20%*. Jika Wajo ingin membumikan demokrasi ekonomi, maka teknologi harus menjadi bagian dari upaya pemberdayaan.
Namun digitalisasi bukan satu-satunya solusi. Struktur ekonomi lokal harus dibangun dengan sistem yang memudahkan akses bagi para pelaku usaha kecil. Kredit usaha harus lebih inklusif, kebijakan pajak harus berpihak pada usaha mikro, dan pendidikan kewirausahaan harus diperkuat.
Membangun ekonomi yang berdaya bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah tugas bersama, di mana masyarakat harus aktif berpartisipasi dan saling mendukung dalam membangun ekosistem usaha yang kuat.
*Meninggalkan Polarisasi, Membangun Kolaborasi*
Terlalu lama kita melihat politik sebagai arena persaingan yang memecah belah. Padahal, demokrasi sejati adalah kolaborasi—bukan hanya di ruang kebijakan, tetapi juga di pasar, di komunitas, di program yang memberi kesempatan kepada semua orang.
Menurut *Harvard Kennedy School (2023)*, ekonomi yang berhasil selalu bertumpu pada kemitraan lintas sektor—pemerintah, bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil. Di Wajo, ini harus menjadi pondasi bagi perubahan. Polarisasi harus ditinggalkan, sebab kesejahteraan tidak bisa dibangun dalam keadaan terpecah.
Kolaborasi bukan hanya tentang berbagi tanggung jawab, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap elemen masyarakat memiliki peran yang signifikan. Pemerintah harus menginisiasi kebijakan yang memudahkan akses, tetapi sektor swasta dan masyarakat juga harus berpartisipasi aktif dalam ekosistem pembangunan.
Demokrasi ekonomi berarti bahwa keputusan ekonomi tidak hanya dibuat oleh segelintir orang di ruang tertutup, tetapi harus melibatkan partisipasi publik yang luas. Ini adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat.
Jika Wajo ingin menjadi pusat demokrasi ekonomi yang inklusif, maka pola pikir harus diubah. Politik harus menjadi alat kolaborasi, bukan kompetisi yang menghambat kemajuan sosial dan ekonomi.
*Wajo Maradeka: Kebangkitan yang Bermakna*
Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni. Ia adalah panggilan untuk bertindak. Untuk membeli produk UMKM lokal. Untuk mendukung usaha kecil agar bertahan dan berkembang. Untuk menggunakan teknologi dalam memperkuat ekonomi rakyat.
Kebangkitan sejati bukan terjadi di panggung politik. Ia ada di keseharian warga—di tangan pengrajin, di pasar-pasar kecil, di keputusan yang dibuat untuk membangun ekonomi yang berdaya dan berkeadilan.
Kita harus keluar dari pola pikir bahwa kebangkitan adalah sesuatu yang terjadi hanya sekali dalam setahun. Kebangkitan harus menjadi gerakan kolektif yang berlangsung setiap hari. Setiap langkah kecil yang dilakukan untuk membangun ekonomi rakyat adalah bagian dari kebangkitan.
Di dunia yang semakin terhubung, Wajo harus memanfaatkan peluang global untuk memperkuat ekonomi lokal. Teknologi, pendidikan, dan inovasi harus menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah.
Saatnya membumikan *Wajo Maradeka*. Saatnya kebangkitan ini tidak hanya terdengar, tetapi terasa nyata dalam kehidupan kita semua.