
JAKARTA, 16 Oktober 2025 — Ramainya tagar #BoikotTrans7 di media sosial menjadi bukti keresahan publik terhadap tayangan yang dianggap melecehkan Pondok Pesantren Lirboyo. Reaksi keras ini datang bukan hanya dari para alumni Lirboyo, tetapi juga dari kalangan masyarakat yang menilai pesantren telah menjadi pilar utama moralitas bangsa.
Menanggapi polemik tersebut, Direktur Produksi Trans7, Andi Chairil, telah menyampaikan permintaan maaf terbuka dan berjanji melakukan evaluasi internal. Ia menyebut kejadian itu sebagai “kelalaian editorial” dan berkomitmen untuk lebih berhati-hati dalam menampilkan konten keagamaan ke depan.
Namun, bagi Musmuliadi, alumnus Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang (Wajo, Sulawesi Selatan) yang kini berdomisili di Jakarta, permintaan maaf itu perlu disertai langkah nyata untuk memahami pesantren secara lebih mendalam.
“Permintaan maaf tentu kami hargai, tetapi yang lebih penting adalah komitmen untuk belajar memahami. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan rumah nilai yang menjaga moral bangsa,” tegas Musmuliadi dalam keterangannya di Jakarta.
Musmuliadi menegaskan, nilai-nilai perjuangan dan keilmuan pesantren tidak dapat dipisahkan dari peran besar para ulama terdahulu. Salah satu tokoh penting yang patut dikenang adalah AG. K.H. Muhammad As’ad, pendiri Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang.
Sejak tahun 1930-an, AG As’ad telah menanamkan semangat keilmuan, keikhlasan, dan kebangsaan kepada masyarakat Bugis dan santri di Sulawesi Selatan. Melalui As’adiyah dia membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga beradab dan rendah hati.
“AG KH Muhammad As’ad bukan hanya seorang ulama besar, tetapi juga pembaharu dan membangunkan kesadaran umat bahwa belajar adalah ibadah dan berjuang adalah pengabdian. Dari tangan mendiang lahir ribuan santri yang kemudian menjadi guru, dai, dan pemimpin masyarakat,” jelas Musmuliadi.
Menurutnya, nilai keikhlasan dan penghormatan terhadap guru yang diwariskan AG As’ad menjadi fondasi moral santri hingga kini. “Kami diajarkan bahwa menghormati guru dan menempatkan ilmu di atas kepentingan pribadi adalah bentuk tertinggi dari adab,” tambahnya.
Menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober, Musmuliadi mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menjadikan momen ini sebagai ajang refleksi. “Hari Santri bukan sekadar seremoni, tetapi pengingat bahwa perjuangan bangsa lahir dari keikhlasan para santri dan guru-guru mereka,” ujarnya.
Ia juga menyinggung pepatah Bugis yang sarat makna: “Namoni coppo bolana Gurutta dicobi-cobi, madoraka toni"
yang berarti "Bahkan jika hanya atap rumah guru yang dijadikan bahan olok-olok, itu sudah dianggap sebagai bentuk kedurhakaan".
“Ungkapan itu mengajarkan bahwa bagi orang Bugis, menghormati guru sama artinya menjaga kehormatan diri. Jika kehormatan itu dilanggar, berarti kita sedang merendahkan nilai-nilai yang diwariskan oleh para ulama,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Musmuliadi mengajak media untuk memahami pesantren sebagaimana diajarkan para ulama terdahulu, dengan hati yang bersih dan niat mencari keberkahan.
“Pesantren bukan bahan hiburan, tapi sumber keteladanan. Jika media mau memahami pesantren dengan pandangan yang benar, mereka akan menemukan kekayaan nilai yang luar biasa tentang ilmu, keikhlasan, dan penghormatan terhadap guru. Itulah akar moral bangsa yang tidak boleh dilecehkan,” pungkasnya.*
Sumber Foto: Arsip