Abdul Wahab Dai
Narablog
WAJO-Beberapa warganet mengomentari masa hidup H. Umar Pannamo, B.A. yang baru saja wafat pada usia 93 tahun. Umar Pannamo adalah pengarang buku pelajaran bahasa Bugis bagi murid-murid sekolah dasar dan sekolah menengah pada masanya.
Asriyadi Djalil, perantau Wajo di Makassar menyaksikan bagaimana Umar Pannamo berjalan kaki dari Surae ke Amessangeng di sekitar Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan untuk mengajar murid-muridnya.
"Beliau merangkap kepala sekolah dan guru Bahasa Daerah Bugis kami di SD 8," kata Andi Ansarullah dari Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara merujuk pada sekolahnya di Sengkang.
"Beliau pendidik yang sangat santun terhadap semua muridnya," tambah Andi Hasnintong, seorang ASN di Sengkang.
***
Generasi 1980-an hingga 1990-an di sekolah-sekolah dasar dan menengah di Wajo, Sulawesi Selatan mengenal dua buku pelajaran bahasa Bugis legendaris dengan judul senada dan mengandung makna yang bernas.
Ada buku Lantera ᨒᨈᨙᨑ yang terbit berjilid-jilid karangan Drs. Muh. Salim terbitan CV Karya Bakti Ujung Pandang (kini Makassar).
Ada pula buku Mattappa ᨆᨈᨄ yang digubah oleh H. Umar Pannamo, B.A. Bahkan buku ini hingga kini masih ditawarkan secara daring merujuk pada penelusuran di jagat maya ketika tulisan ini digubah sehari setelah Gurunda tutup usia.
Dua judul buku dari pengarang yang berbeda (Muh. Salim dan Umar Pannamo) rupanya senada dan seirama dengan tujuan mencerahkan.
Bahkan pada era Kurikulum Merdeka Belajar dewasa ini ada buku Pasuloi ᨄᨔᨘᨒᨚᨕᨗ karangan trio Darmawati, S.Pd., Joharuddin, S.Pd., M.M., dan Syamsuddin, S.Pd. untuk pelajar SMP/MTs.
Muh. Salim menyebut bukunya sebagai Lantera yang artinya "lentera", sebuah alat penerang kala gulita. Umar Pannamo menamai bukunya Mattappa, "berpendar", atau kira-kira "memancarkan cahaya". Pasuloi artinya "menerangi".
Ya, menulis buku pelajaran bahasa Bugis adalah kegiatan langka di tengah fenomena pemuda dan putra-putri kita yang condong bertutur bahasa Indonesia dialek Sulsel. Kini banyak pemuda Bugis yang sudah tidak memahami kata-kata Bugis lama dan kata-kata arkaik, termasuk kalimat-kalimat pappaasêng ᨄᨄᨔᨛ (nasihat).
Beruntunglah ada segelintir orang yang peduli mau merawat bahasa Bugis, salah satu rumpun bahasa Austronesia dengan aksaranya yang telah dimodernisasi: aksara Lontarak.
Dewasa ini kita mengenal Syamsuddin Arifin Kol, S.Pd. di Wajo yang telah meluncurkan "Buku Penunjang Menulis Indah Aksara Lontara' untuk SMA/SMK/MA".
Buku Pelajaran Bahasa Daerah Bugis "Mattappa" telah melintasi waktu kurang lebih 40-an warsa. Kemarin (Jumat, 17 Maret 2023) pengarangnya wafat. H. Umar Pannamo telah berperan besar merawat bahasa Bugis dan aksara Lontarak.
Bersama dengan "perawat-perawat" bahasa Bugis lainnya, kita memberi penghormatan yang setinggi-tingginya.
Kepada mendiang H. Umar Pannamo kita mengirimkan doa, semoga amalnya kian mengalir dari buku yang ditulisnya yang mampu menerangi kita dan membuat kita makin paham bahasa Bugis dan aksaranya, di tengah fenomena banyaknya bahasa lokal di dunia yang kehilangan penutur.
Dan bahasa Bugis pun dapat kita rawat bersama.
Sumber foto: Internet